Minggu, 09 Oktober 2016

Pendidikan Agama Bagi Remaja




Disusun oleh:
             Ulfa Nabila                            (2021115007)
             Nafila Anil Khawa                (2021115039)
             Fitri Nisfiyah Nahari            (2021115270)
             M. Syariful Anam                 (2021113085)

Kelas : C

JURUSAN TARBIYAH PRODI PAI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PEKALONGAN
2016



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Usia remaja adalah masa dimana segala sesuatu dengan mudah dibentuk dan akan sangat menentukan bagaimana selanjutnya dimasa yang akan datang. Hal itulah yang mendasari betapa pentingnya pendidikan agama diberikan sehingga kita tidak akan melakukan kesalahan-kesalahan fatal dalam membentuk karakter remaja yang tentunya akan menjadi  khalifah di muka bumi ini kelak. Menjadi khalifah atau pemimpin itu adalah sebuah tanggung jawab besar yang akan dimintai pertanggungjawabanya kelak, sehingga remaja perlu dibekali dengan segala persiapan sedini mungkin, yang notabenenya akan menjadi penerus bangsa dan agama kelak. Sebenarnya masa remaja adalah masa peralihan, yang ditempuh oleh seseorang dari kanak-kanak menuju dewasa. Atau dapat dikatakan bahwa masa remaja adalah perpanjangan masa kanak-kanak sebelum mencapai masa dewasa.
Kondisi Psikologis remaja ternyata mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan beragama mereka. Sikap kritis remaja juga tampak dalam kehidupan beragama. Mereka tidak lagi menerima begitu saja ajaran-ajaran agama yang diberikan oleh orangtuanya. Bahkan pelajaran-pelajaran agama yang pernah mereka dapatkan pada waktu masih kanak-kanak mulai dipertanyakan, sehingga tidak jarang menimbulkan keraguan beragama. Oleh sebab itu, penulis ingin mengkaji lebih dalam tentang pendidikan agama bagi para remaja.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Pendidikan Agama bagi Remaja ?
2.      Bagaimana Basis Penanaman Pendidikan Agama pada Remaja ?
3.      Bagaimana Pembinaan Pribadi bagi Remaja ?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui Pendidikan Agama Remaja.
2.      Mengetahui Basis Penanaman Pendidikan Agama pada Remaja.
3.      Mengetahui Pembinaan Pribadi bagi Remaja.



BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pendidikan Agama Remaja
Masalah agama tak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat, termasuk remaja, karena agama diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Agama yang secara praktiknya memberikan fungsi edukatif perlu dilaksanakan oleh masyarakat penganutnya.
Para penganut agama berpendapat bahwa ajaran agama yang mereka anut memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi, karena secara yuridis agama berfungsi untuk menyuruh dan melarang. Unsur suruhan dan larangan ini mempunyai latar belakang mengarahkan bimbingan agar pribadi penganutnya menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agama masing-masing. Oleh karena itu, cukup logis kalau setiap ajaran agama mewajibkan penganutnya untuk melaksanakan ajarannya secara rutin. Bentuk dan pelaksanaan ibadah agama, paling tidak akan ikut berpengaruh dalam menanamkan keluhuran budi yang pada puncaknya akan menimbulkan rasa sukses sebagai pengabdi Tuhan yang setia. Tindak ibadah setidaknya akan memberi rasa bahwa hidup menjadi lebih bermakna. Dan manusia sebagai makhluk yang memiliki kesatuan jasmani dan rohani secara tidak terpisahkan memerlukan perlakuan yang dapat memuaskan keduanya, sehingga menjadi pribadi yang utuh. Untuk memiliki kepribadian yang utuh tidak mungkin terlepas dari pembinaan keagamaan yang merupakan bagian dari penentu kepribadian itu sendiri. Hal ini karena pembinaan kehidupan beragama tak dapat dilepaskan dari pembinaan kepribadian secara keseluruhan sebab ia merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri. Sikap atau tindakan seseorang dalam hidupnya tak lain merupakan pantulan pribadinya yang tumbuh dan berkembang sejak ia lahir, bahkan telah mulai sejak dalam kandungan. Semua pengalaman yang dilalui sejak dalam kandungan mempunyai pengaruh terhadap pembinaan pribadi, bahkan di antara ahli jiwa,[1]
ada yang berpendapat bahwa pribadi itu tak lain dari kumpulan pengalaman pada umur-umur pertumbuhan (dari umur nol sampai dengan masa remaja terakhir), terutama pengalaman pada tahun-tahun pertama dari pertumbuhan. Pengalaman yang dimaksudkan adalah semua pengalaman yang dilalui, baik pengalaman melalui pendengaran, penglihatan maupun perlakuan yang diterima sejak lahir.[2]
Menurut Zakiyah yang dikutip oleh Noer Rohmah, M.Pd.I, ada beberapa patokan umum yang menjadi ciri yang dialami oleh remaja dalam perkembangan jiwa keagamaannya, antara lain sebagai berikut:
a.       Pertumbuhan jasmani secara cepat telah selesai
b.      Pertumbuhan kecerdasan hamper selesai
c.       Pertumbuhan pribadi belum selesai
d.      Pertumbuhan jiwa sosial masih berjalan
e.       Keadaan jiwa agama yang belum stabil.[3]
Menurut Zakiah yang dikutip oleh Drs. Bambang Samsul Arifin, M.Si., masalah pokok yang sangat menonjol berkenaan dengan keberagaman di kalangan para remaja dewasa ini adalah kaburnya nilai-nilai moral di mata generasi muda. Mereka dihadapan pada berbagai kontradiksi dan aneka ragam pengalaman moral, yang menyebabkan mereka bingung untuk memilih mana yang baik untuk mereka. Hal ini tampak jelas pada mereka yang sedang berada pada usia remaja, terutama mereka yang hidup di kota-kota besar Indonesia, yang mencoba mengembangkan diri ke arah kehidupan yang disangka maju dan modern dimana berkecamuk aneka ragam kebudayaan asing yang masuk seolah-olah tanpa saringan.
Sikap orang dewasa yang mengejar kemajuan lahiriyah tanpa mengindahkan nilai-nilai moral yang bersumber kepada agama yang dianutnya menyebabkan generasi muda mengalami kebingungan dalam bergaul karena apa yang dipelajarinya di sekolah bertentangan dengan apa yang dialaminya dalam masyarakat, bahkan mungkin bertentangan dengan apa yang dilakukan oleh orangtuanya sendiri di rumah.
Kontradiksi yang terdapat dalam kehidupan generasi muda itu menghambat pembinaan moralnya karena pembinaan moral itu terjalin dalam pembinaan pribadinya. Apabila faktor-faktor dan unsur-unsur yang membina itu bertentangan antara satu sama lain, akan goncanglah jiwa yang dibina, terutama mereka yang sedang mengalami pertumbuhan dan perubahan cepat, yaitu usia remaja.
Kegoncangan jiwa, akibat kehilangan pegangan itu telah menimbulkan berbagai ekses, misalnya kenakalan remaja, penyalahgunaan narkotika, dan sebagainya. Dalam menghadapi remaja yang oleh orangtua atau gurunya dianggap nakal (memang kelakuannya nakal, misalnya tak mau belajar, menentang orangtua, mengganggu keamanan, merusak dan sebagainya) dan mereka yang telah menjadi korban dari penyalah-gunaan narkotika, terasa sekali bahwa yang terjadi sebenarnya adalah kegoncangan jiwa akibat tak adanya pegangan dalam hidupnya. Nilai-nilai moral yang akan diambilnya sebagai pegangan terasa kabur, terutama mereka yang hidup di kota besar dan berasal dari keluarga yang kurang mengindahkan ajaran agama dan tak memerhatikan pendidikan agama bagi anak-anaknya.
Seandainya keadaan itu dibiarkan berjalan dan berkembang, pembangunan bangsa kita akan terganggu, bahkan mungkin akan gagal. Karena tujuan pembangunan kita adalah mencapai kesejahteraan hidup yang seimbang antara kemakmuran lahiriyah dan kebahagiaan batin, atau dengan kata lain, sifat pembangunan negara kita adalah pembangunan yang seimbang antara jasmani dan rohani, antara material dan spiritual, antara kehidupan dunia dan akhirat.
Secara nasional, bahayanya adalah menghambat tercapainya tujuan pembangunan, sedangkan secara pribadi atau masing-masing anggota masyarakat, mereka akan kehilangan kebahagiaan.[4]
Bisa dibayangkan bagaimana perasaan orangtua ketika melihat anaknya malas belajar, suka melawan, menentang, dan nakal atau terganggu jiwa. Tentu saja, mereka akan merasa sedih.
Disamping itu, remaja pun merasa hari depannya suram, yang biasa mereka sebut dengan masa depan suram, karena mereka tahu bahwa apa yang terjadi pada diri mereka adalah yang merugikan, tetapi mereka tak mampu mancari jalan keluarnya, lalu mereka mengatasi perasaan yang tak menyenangkan itu dengan mencari obat penenang, yaitu narkotika atau kelakuan nakal.
Ringkasnya, bahaya akan terjadi dan meluas apabila kehidupan moral dan agama dalam masyarakat yang negatif itu dibiarkan menjalar dan memengaruhi generasi muda. Untuk itu, perlu ada tindakan antisipasif terhadap masalah yang cukup membahayakan itu, antara lain adalah :
a.       Perlu mengadakan saringan atau seleksi terhadap kebudayaan asing yang masuk agar unsur-unsur yang negetif dapat dihindarkan.
b.      Agar pendidikan agama, baik dalam keluarga, sekolah maupun masyarakat, diintensifkan supaya kehidupan kehidupan beragama dapat terjamin dan selanjutnya nilai-nilai moral yang baik dapat menjadi bagian dari pribadi bangsa, generasi muda pada khususnya. Nilai-nilai moral yang pasti terdapat dalam ajaran agama itu akan membantu setiap pribadi untuk mendapat ketenangan jiwa, sehingga kegairahan untuk membangun itu ada.
c.       Agar diadakan pendidikan khusus untuk orang dewasa dalam bidang kesehatan jiwa supaya mereka dapat membantu dirinya sendiri dalam menghadapi kegoncangan jiwa, atau menghindari terjadinya kegoncangan jiwa dan terciptanya ketenangan serta kebahagiaan dalam hidup sehari-hari di rumah dan masyarakat.[5]

d.      Perlu adanya biro-biro konsultasi, untuk membantu orang-orang yang memerlukannya, baik untuk anak dan remaja maupun untuk orang dewasa.
e.       Dalam kegiatan pembinaan itu sebaiknya pemerintah dengan wewenang yang ada padanya meengambil tindakan dan langkah-langkah tegas dengan mengikutsetakan semua lembaga, para ulama dan pemimpin masyarakat.
Pendidikan agama di kalangan generasi muda atau remaja, baik dalam keluarga, sekolah maupun masyarakat, perlu mendapatkan perhatian yang serius dan menjadi skala prioritas yang harus direalisasikan secara serentak oleh semua pihak, baik pendidikan formal maupun nonformal.[6]

2.      Basis Penanaman Pendidikan Agama Bagi Remaja
a.       Lingkungan Keluarga
Dapat dipahami bahwa keluarga merupakan lingkungan pertama anak yang mempunyai pengaruh vital terhadap pertumbuhan dan perkembangan generasi muda. Dalam beberapa hal, situasi keluarga di Indonesia dewasa ini belum mencerminkan suasana lingkungan yang mendukung perkembangan dan pertumbuhan generasi muda menuju kearah bentuk kedewasaan yang diharapkan oleh bangsa Indonesia.
Suasana lingkungan keluarga yang kurang mendukung, pertumbuhan dan perkembangan generasi muda tersebut antara lain terlihat dalam berbagai masalah yang dihadapi oleh orangtua dan juga oleh anak-anak itu sendiri di dalam keluarganya.
Ada beberapa faktor yang menjadi penghambat di lingkungan keluarga bagi pembinaan generasi muda, yaitu :[7]

1)      Keseimbangan yang tidak cukup antara kemajuan teknologi dan perkembangan serta perubahan social yang cepat dan luas dengan kesiapan keluarga sebagai lembaga pembina utama untuk menghadapi hal-hal tersebut.
2)      Kewibawaan dan perhatian orang tua yang minim terhadap anak
3)      Ekonomi keluarga yang relatif lemah.
4)      Faktor-faktor intern pada diri si anak, seperti rendahnya tingkat intelegensia anak.
Namun demikian, masih ada rasa optimisme yang masih cukup kuat karena adanya faktor-faktor pendukung yang dapat dimanfaatkan untuk kelancaran usaha-usaha pembinaan, antara lain :
1)      Masih ada rasa kekeluargaan yang erat.
2)      Usaha-usaha kesejahteraan keluarga dan anak.
3)      Masih kuatnya rasa keagamaan di kalangan keluarga dan masyarakat.

b.      Lingkungan Sekolah
Sekolah atau lembaga pendidikan formal lainnya merupakan lingkungan kedua yang mempunyai pengaruh besar terhadap pembinaan pertumbuhan dan perkembangan anak-anak atau generasi muda Indonesia. Akan tetapi, sekolah-sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan formal tersebut sampai dewasa ini belum dapat sepenuhnya melaksanakan fungsi membina generasi muda sebaaimana mestinya, hal ini dikarenakan adanya berbagai masalah yang muncul, seperti :
1)      Keterbatasan prasarana, sarana, dan tenaga bagi penyelenggara pendidikan, baik kuantitas maupun kualitas.[8]

Di samping itu, metodologi pendidikan dan pengajaran yang pada umumnya masih belum cukup efektif menyebabkan tujuan pendidikan belum dapat dicapai sebagaimana diharapkan.
2)      Kuantitas dan kualitas pendidikan ketrampilan praktis yang kurang langsung dapat dirasakan manfaatnya oleh keluarga dan anak-anak didik atau siswa-siswa yang bersangkutan.
3)      Ada gejala penurunan atau pengurangan wibawa pengajar terhadap anak didik di satu pihak, dan gejala perubahan tingkah laku dan sikap anak didik yang menghendaki hubungan sosial secara bebas.
4)      Kurang pengertian dan perhatian masyarakat, orangtua, dan generasi muda tentang tujuan dan sistem pendidikan yang berlangsung serta masih kurangnya pengertian masyarakat, terutama pada sebagian masyarakat di pedesaan tentang pentingnya pendidikan.
5)      Belum cukup memadainya perhatian masyarakat dan keluarga terhadap pembinaan dan perkembangan pendidikan luar biasa serta terhadap hak kebutuhan generasi muda golongan tuna pada umumnya.
6)      Cukup banyak jumlah anak berhenti sekolah, dan lain sebagainya.
Ada beberapa fakor penghambat di lingkungan sekolah dalam kelancaran pembinaan generasi muda, yaitu :
1)      Belum diterapkannya pola sistem pendidikan.
2)      Kurang memadainya usaha-usaha penyebaran pengertian dan motivasi tentang pentingnya pendidikan.
3)      Kurang diperhatikannya kesejahteraan pendidik dan kurang memadainya usaha-usaha peningkatan kemampuan pendidikan.[9]

4)      Masih terbatasnya anggaran belanja pemerintah bagi perkembangan dan peningkatan pendidikan, di samping ekonomi masyarakat yang terbatas pula.
5)      Hubungan antara pendidik dengan wali murid yang belum cukup intensif dan efektif.[10]
Setiap guru agama hendaknya menyadari, bahwa pendidikan agama bukanlah sekadar mengajarkan pengetahuan agama dan melatih ketrampilan anak dalam melaksanakan ibadah. Akan tetapi pendidikan agama jauh lebih luas daripada itu, ia pertama-tama bertujuan untuk membentuk kepribadian anak, sesuai dengan ajaran agama. Pembinaan sikap, mental, dan akhlak, jauh lebih penting daripada menghafal dalil-dalil dan hukum-hukum agama, yang tidak diresapkan dan dihayatinya dalam hidup. Pendidikan agama akan sukses, apabila ajaran agama hidup dan tercermin dalam pribadi guru agama dan pendidikan agama akan lebih berkesan dan berguna apabila seluruh lingkungan hidup, yang ikut mempengaruhi pembinaan pribadi anak (keluarga, sekolah, dan masyarakat) sama-sama mengarah pada pembinaan jiwa agama pada anak.
Guru agama tidak hanya melakukan pendidikan, akan tetapi ia sekaligus melakukan pendidikan ulang (re-education) terhadap yang telah terlanjur salah di masa lampau. Disamping ia membina pribadi anak, ia juga melakukan pembinaan kembali (reconstruction of personality) anak. Dapat dikatakan bahwa guru agama, disamping sebagai guru, hendaknya dapat berfungsi sebagai konsultan jiwa bagi anak didik, yang mendapatkan kesalahan pendidikan agama di waktu kecil, baik di rumah, sekolah, maupun masyarakat yang akan membawa akibat yang sangat berbahaya terhadap hari depan anak, bahkan akan berpengaruh sampai hari tuanya dan sampai kepada kehidupan akhirat nanti.[11]
Pendidikan agama yang baik, tidak saja memberi manfaat bagi yang bersangkutan, akan tetapi membawa keuntungan dan manfaat terhadap masyarakat dan umat manusia seluruhnya.[12]
Perkembangan kognitif pada remaja menunjukan bahwa mereka memiliki daya pikir kritis yang tinggi dengan dilandasi pemahaman dan pengetahuan berbagai ilmu pengetahuan, maka untuk mengatasi pertanyaan- pertanyaan kritis remaja yang muncul juga perlu dilandasi argument rasional yang tepat. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul seringkali disebabkan karena keterbatasan pemahaman dan pengetahuan agama. Selain mendalami ajaran agama, keraguan dan konflik agama akan dapat diatasi jika mereka mendapat berbagai pengalaman beragama yang memberikan bukti tentang kebenaran ajaran agama.[13]
c.       Lingkungan Masyarakat
Perkembangan masyarakat dewasa ini dengan berbagai perubahan dan kemajuan, serta keterbatasan fasilitas dan kegiatan-kegiatannya di satu pihak, dan meluapnya aspirasi di pihak lain telah menjadikan lingkungan ketiga yang memberikan pengaruh kuat bagi pertumbuhan dan perkembangan generasi muda, baik pengaruh positif maupun negatif.
Bagaimanapun keadaan suatu masyarakat, ia mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk memberikan pembinaan kepada generasi muda agar kedewasaan yang diharapkan dapat tercapai. Perkembangan dan perubahan masyarakat yang berlangsung akhir-akhir ini di beberapa tempat, terutama di kota-kota besar, mengharuskan masyarakat tersebut untuk menghayati berbagai permasalahan yang ditimbulkan dan sekaligus memecahkannya. Di antara masalah yang dianggap mendesak adalah kurangnya usaha strategis integral dari generasi dewasa untuk menanggapi dan memahami perubahan-perubahan nilai kehidupan dan penghidupan pada generasi muda akibat pengaruh kemajuan-kemajuan ekonomi dan teknologi serta perkembangan dan perubahan social cultural yang cepat.
Permasalahan generasi muda yang kompleks itu tidak mungkin hanya dibebankan tanggung jawabnya kepada salah satu komponen masyarakat semata, meskipun tak dipungkiri ada pihak yang paling dominan untuk memotorinya, yakni pihak pemerintah, karena merekalah yang dapat membuat kebijakan-kebijakan hukum yang bisa dijadikan pijakan untuk merealisasikan langkah-langkah konkret guna mengatasi problematika generasi muda, terutama masalah pendidikan keagamaan mereka.[14]

3.      Pembinaan Pribadi Remaja
Perlu diingat bahwa pembinaan pribadi yang dilalui oleh remaja terbina telah banyak membawa hasil dalam berbagai bentuk sikap dan modal kelakuan, sesuai dengan pengalaman mereka masing-masing, sejak lahir sampai remaja. Dapat dibayangkan betapa variatifnya sikap dan kelakuan itu, karena masing-masing telah terbina dalam berbgai kondisi dan situasi keluarga, sekolah, dan lingkungan yang berlainan satu sama lain.
Namun demikian, masih ada beberapa patokan umum yang dapat diuraikan dalam pembinaan itu, yaitu tingkat umur dengan segala ciri dan problematiknya. Remaja pada masa terakhir, umpamanya, dapat dikatakan bahwa mereka sedang berada pada masa pembinaan terakhir, yaitu masa remaja terakhir (late adolescence) atau Al Murahaqah Al Akhirah dan dewasa muda. hal ini dapat diidentifikasi dari ciri-ciri yang biasa terjadi pada masa remaja terakhir ini, meskipun sesungguhnya, masa remaja itu tak dapat dipastikan kapan mulai dan berakhirnya, sebab hal tersebut bergantung pada berbagai faktor yang bersifat individual, seperti faktor cepat atau lambatnya pertumbuhan kondisi tertentu yang dialami remaja, di antaranya faktor sosial dan ekonomi.[15]

Di antara remaja ada yang mengalami faktor sosial yang cepat memberi kepercayaan dan penghargaan kepadanya, sehingga mereka segera dapat diterima sebagai anggota masyarakat yang didengar pendapatnya. Hal ini biasanya terjadi di masyarakat desa atau masyarakat yang masih terbelakang. Akan tetapi, ada pula lingkungan yang enggan memberi kepercayaan pada remajanya, sehingga mereka dipandang sebagai anak yang harus ditolong, dinasihati, dibimbing, dan dicukupi segala kebutuhannya. Di samping itu, ada pula faktor ekonomi yang biasa terjadi di masyarakat miskin atau kurang mampu, dimana anak mudanya segera diberi tanggung jawab dan ikut mencari nafkah. Adapun dalam masyarakat maju dan mampu, biasanya anak-anak itu tak dibebani tugas mencari nafkah sampai usia mereka matang.
Banyak lagi faktor lain yang ikut menentukan masa remaja itu, tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa masa remaja kira-kira dimulai pada umur 13 tahun, yang ditandai dengan masuknya anak pada masa puber, yaitu pertumbuhan seks yang membedakan anak dan remaja. Perubahan ini tampak pada perubahan jasmani dari luar dan perubahan kelenjar-kelenjar yang mengalir dalam tubuhnya. Adapun akhir masa remaja agak sukar ditentukan, karena berbagai faktor ikut mempengaruhi, sebagaimana telah dikemukakan di atas. Namun pada akhirnya, ahli jiwa cenderung untuk mengatakan bahwa pada masyarakat maju, masa remaja berakhir pada usia 21 tahun ketika segala macam pertumbuhan atau perubahan cepat dapat dikatakan berakhir.
Berdasarkan ciri-ciri perkembangan jiwa remaja, proses pembinaan pribadi remaja harus disesuaikan dengan kondisi usia mereka, yakni berkisar (18-24 tahun).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemuda-pemudi dalam umur tersebut dapat digolongkan remaja dan dewasa muda. Mereka bukan lagi anak-anak, yang dapat dinasehati, dididik, dan diajari dengan mudah, dan bukan pula orang dewasa yang dapat dilepaskan untuk bertanggung jawab atas pembinaan pribadinya.[16]
Mereka adalah orang-orang yang sedang berjuang untuk mencapai kedudukan sosial yang meraka inginkan dan bertarung dengan berbagai problematika hidup untuk memastikan diri, serta mencari peganggan untuk menentramkan batin dalam perjuangan hidup yang tak ringan.
Tidaklah mudah memilih cara atau metode yang tepat dan baik bagi mereka, namun sekedar peganggan, berikut ini akan dikemukakan beberapa segi yang perlu mendapat perhatian :
a.       Menentukan bahwa pembina memahami mereka.
Seorang pembina harus memahami binaannya. Secara umum, telah kita sebutkan ciri, sifat, dan problem remaja, namun secara perseorangan, kita pun perlu berusaha mengetahui apa yang sedang mereka rasakan. mungkin saja, mereka telah melakukan sesuatu yang menurut ajaran agama terlarang atau tercela, lalu mereka bertahan (membela diri secara diam-diam atau terang-terangan). tidaklah bijaksana kalau kita mengabaikan perasaan dan pertarungan jiwa yang mereka alami itu, lalu misalnya kita mencela mereka serta menunjukan hukum dan ketentuan-ketentuan agama tanpa penganalisisan, mengapa hukum agama itu demikian. sebaiknya, kita tunjukan bahwa apa yang mereka alami, rasakan, atau derita kita pahami. Kemudian, kita mengemukakan ajaran agama mengenal hal itu dengan mencarikan hikmah dan manfaat dari ketentuan agama, yang mungkin terasa berat bagi remaja tersebut.
Setiap orang, terutama remaja akan merasa senang apabila orang lain dapat memahami dan mengenal perasaannya. Dengan demikian, mereka akan merasa simpati kepada orang yang mau mengerti perasaan dan penderitaannya. Apabila rasa simpati itu telah tercipta, biasanya mereka akan dengan mudah menerima saran atau nasihat.[17]



b.      Membina secara konsultasi.
Hendaknya setiap pembina agama menyadari bahwa yang akan dibina itu adalah jiwa yang tak terlihat, tak dapat dipegang atau diketahui secara langsung. Oleh karena itu, hendaklah bersikap terbuka untuk menampung atau mendengar ungkapan perasaan yang dialami mereka. Terkadang, pembina perlu menyediakan waktu untuk mendengar keluh kesah mereka secara kelompok dan secara perseorangan. Dalam itu berarti pembina telah memberi kesempatan kepada remaja untuk menumpahkan segala yang menegangkan perasaannya (release of tension). Dengan tercurahnya segala yang menegangkan perasaan itu, hati mereka akan terbuka untuk menerima saran atau alternatif-alternatif penyelesaian bagi segala problema yang mereka hadapi, tentunya alternatif itu diambilkan dari ajaran dan ketentuan agama yang pasti telah terjamin baiknya.
Dalam menghadapi mereka yang menderita gangguan jiwa dengan segala macam gejalanya, tentu sangat terasa besarnya pengaruh cara tersebut dalam pembinaan remaja. Tak jarang terlihat adanya perubahan besar yang terjadi pada remaja hanya dengan sekali atau dua kali pertemuan konsultasi saja. Sikap benci dan antipati kepada orangtua, guru, pemimpin dan bahkan terhadap agama, dapat berubah dengan cepat sekali, setelah batinnya lega setelah curhat dihadapan orang yang mau mendengar dan mahaminya.
Setiap perugas yang menjalankan pembinaan kehidupan beragama, tidak lain adalah pembina jiwa atau konsultan jiwa.[18]



c.       Mendekatkam agama kepada kehidupan.
Hukum dan ketentuan agama itu perlu diketahui oleh para remaja binaan. Jangan sampai pemahaman dan pengetahuan mereka tentang agama hanya pengetahuan yang tak berpengaruh apa-apa dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Untuk itu, diperlukan usaha untuk mendekatkan agama dengan jalan mencarikan hikmah dan manfaat setiap ketentuan agama itu. jangan sampai mereka menyangka bahwa hukum dan ketentuan agama merupakan perintah Tuhan yang terpaksa mereka patuhi, tanpa merasakan manfaat dari kepatuhannya itu. Hal itu tidak dapat dicapai dengan penjelasan sederhana, melainkan memerlukan pendekatan-pendekatan secara sungguh-sungguh yang didasarkan atas pengertian dari usaha yang sungguh-sungguh pula.[19]



BAB III
PENUTUP

Simpulan
Demikian penting pendidikan agama dan demikian berat tugas guru agama, maka seharusnya guru agama membekali dirinya dengan berbagai pengetahuan, ketrampilan dan ilmu alat atau ilmu yang dapat membantunya dalam pelaksanaan tugas berat yang mulia itu. Di antara ilmu alat tersebut ialah Ilmu Jiwa Agama, terutama bagian yang menyangkut pertumbuhan jiwa agama pada anak dan remaja.
Penanaman pendidikan agama bagi remaja terjadi pada beberapa basis, yaitu di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat, dimana dari ketiga basis tersebut memiliki peranannya masing-masing serta sangat mempengaruhi didalam pertumbuhan dan perkembangan jiwa keagamaan setiap remajanya.
Ada beberapa cara didalam membina pribadi remaja agar menjadi pribadi yang memiliki jiwa keagamaan yang baik, yaitu dengan cara menunjukan kepada remaja bahwa pembina memahami keadaan mereka, kemudian membina secara konsultasi dan mendekatkan agama kepa kehidupan remaja yang dibina.
Fotnote:

[1] Bambang Samsul Arifin, Psikologi Agama (Bandung : Pustaka Setia, 2008), hlm.85-86
[2] Ibid., hlm.86
[3] Noer Rohmah, Pengantar Psikologi Agama (Teras : Yogyakarta, 2013), hlm.125
[4] Bambang Samsul Arifin, Op.Cit., hlm.86-87
[5] Ibid., hlm.87-88
[6] Ibid., hlm.88-89
[7] Ibid., hlm.89
[8]Ibid., hlm.90-91
[9] Ibid., hlm.91-92
[10] Ibid., hlm.92
[11] Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (PT Bulan Bintang : Jakarta, 2003), hlm.124-125
[12] Ibid., hlm.125
[13] M.A. Subandi, Psikologi Agama dan Keshatan Mental (Pustaka Pelajar : Yogyakarta, 2013), hlm.54
[14] Bambang Samsul Arifin, Op.Cit., hlm.100
[15] Ibid., hlm.101-102
[16] Ibid., hlm.102-103
[17] Ibid., hlm.103-104
[18] Ibid., hlm. 104
[19] Ibid., hlm.105

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Bambang Samsul. 2008. Psikologi Agama. Bandung : Pustaka Setia.
Daradjat, Zakiah. 2003. Ilmu Jiwa Agama. PT Bulan Bintang : Jakarta.
Rohmah, Noer. 2013. Pengantar Psikologi Agama. Teras : Yogyakarta.
            Subandi, M.A.. 2013. Psikologi Agama dan Keshatan Mental. Pustaka Pelajar : Yogyakarta.
 



0 komentar

Posting Komentar