Disusun
oleh:
Ulfa Nabila (2021115007)
Nafila Anil Khawa (2021115039)
Fitri Nisfiyah Nahari (2021115270)
M. Syariful Anam (2021113085)
Kelas : C
JURUSAN TARBIYAH PRODI PAI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PEKALONGAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Usia remaja adalah masa dimana segala sesuatu dengan mudah dibentuk
dan akan sangat menentukan bagaimana selanjutnya dimasa yang akan datang. Hal
itulah yang mendasari betapa pentingnya pendidikan agama diberikan sehingga
kita tidak akan melakukan kesalahan-kesalahan fatal dalam membentuk karakter
remaja yang tentunya akan menjadi khalifah di muka bumi ini kelak.
Menjadi khalifah atau pemimpin itu adalah sebuah tanggung jawab besar yang akan
dimintai pertanggungjawabanya kelak, sehingga remaja perlu dibekali dengan
segala persiapan sedini mungkin, yang notabenenya akan menjadi penerus bangsa
dan agama kelak. Sebenarnya masa remaja adalah masa peralihan, yang ditempuh
oleh seseorang dari kanak-kanak menuju dewasa. Atau dapat dikatakan bahwa masa
remaja adalah perpanjangan masa kanak-kanak sebelum mencapai masa dewasa.
Kondisi
Psikologis remaja ternyata mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan
beragama mereka. Sikap kritis remaja juga tampak dalam kehidupan beragama.
Mereka tidak lagi menerima begitu saja ajaran-ajaran agama yang diberikan oleh
orangtuanya. Bahkan pelajaran-pelajaran agama yang pernah mereka dapatkan pada
waktu masih kanak-kanak mulai dipertanyakan, sehingga tidak jarang menimbulkan
keraguan beragama. Oleh sebab itu, penulis ingin mengkaji lebih dalam tentang
pendidikan agama bagi para remaja.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
Pendidikan Agama bagi Remaja ?
2.
Bagaimana Basis
Penanaman Pendidikan Agama pada Remaja ?
3.
Bagaimana
Pembinaan Pribadi bagi Remaja ?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui
Pendidikan Agama Remaja.
2.
Mengetahui
Basis Penanaman Pendidikan Agama pada Remaja.
3.
Mengetahui
Pembinaan Pribadi bagi Remaja.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pendidikan
Agama Remaja
Masalah agama tak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat,
termasuk remaja, karena agama diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Agama
yang secara praktiknya memberikan fungsi edukatif perlu dilaksanakan oleh
masyarakat penganutnya.
Para penganut agama berpendapat bahwa ajaran agama yang
mereka anut memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi, karena secara yuridis
agama berfungsi untuk menyuruh dan melarang. Unsur suruhan dan larangan ini
mempunyai latar belakang mengarahkan bimbingan agar pribadi penganutnya menjadi
baik dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agama masing-masing. Oleh
karena itu, cukup logis kalau setiap ajaran agama mewajibkan penganutnya untuk
melaksanakan ajarannya secara rutin. Bentuk dan pelaksanaan ibadah agama,
paling tidak akan ikut berpengaruh dalam menanamkan keluhuran budi yang pada
puncaknya akan menimbulkan rasa sukses sebagai pengabdi Tuhan yang setia.
Tindak ibadah setidaknya akan memberi rasa bahwa hidup menjadi lebih bermakna.
Dan manusia sebagai makhluk yang memiliki kesatuan jasmani dan rohani secara
tidak terpisahkan memerlukan perlakuan yang dapat memuaskan keduanya, sehingga
menjadi pribadi yang utuh. Untuk memiliki kepribadian yang utuh tidak mungkin
terlepas dari pembinaan keagamaan yang merupakan bagian dari penentu
kepribadian itu sendiri. Hal ini karena pembinaan kehidupan beragama tak dapat
dilepaskan dari pembinaan kepribadian secara keseluruhan sebab ia merupakan
bagian dari kehidupan itu sendiri. Sikap atau tindakan seseorang dalam hidupnya
tak lain merupakan pantulan pribadinya yang tumbuh dan berkembang sejak ia
lahir, bahkan telah mulai sejak dalam kandungan. Semua pengalaman yang dilalui
sejak dalam kandungan mempunyai pengaruh terhadap pembinaan pribadi, bahkan di
antara ahli jiwa,[1]
ada
yang berpendapat bahwa pribadi itu tak lain dari kumpulan pengalaman pada
umur-umur pertumbuhan (dari umur nol sampai dengan masa remaja terakhir),
terutama pengalaman pada tahun-tahun pertama dari pertumbuhan. Pengalaman yang
dimaksudkan adalah semua pengalaman yang dilalui, baik pengalaman melalui
pendengaran, penglihatan maupun perlakuan yang diterima sejak lahir.[2]
Menurut Zakiyah yang dikutip oleh Noer Rohmah, M.Pd.I, ada beberapa
patokan umum yang menjadi ciri yang dialami oleh remaja dalam perkembangan jiwa
keagamaannya, antara lain sebagai berikut:
a.
Pertumbuhan
jasmani secara cepat telah selesai
b.
Pertumbuhan
kecerdasan hamper selesai
c.
Pertumbuhan
pribadi belum selesai
d.
Pertumbuhan
jiwa sosial masih berjalan
e.
Keadaan jiwa
agama yang belum stabil.[3]
Menurut Zakiah yang dikutip oleh Drs. Bambang Samsul Arifin, M.Si.,
masalah pokok yang sangat menonjol berkenaan dengan keberagaman di kalangan
para remaja dewasa ini adalah kaburnya nilai-nilai moral di mata generasi muda.
Mereka dihadapan pada berbagai kontradiksi dan aneka ragam pengalaman moral,
yang menyebabkan mereka bingung untuk memilih mana yang baik untuk mereka. Hal
ini tampak jelas pada mereka yang sedang berada pada usia remaja, terutama
mereka yang hidup di kota-kota besar Indonesia, yang mencoba mengembangkan diri
ke arah kehidupan yang disangka maju dan modern dimana berkecamuk aneka ragam
kebudayaan asing yang masuk seolah-olah tanpa saringan.
Sikap orang dewasa yang mengejar kemajuan lahiriyah tanpa
mengindahkan nilai-nilai moral yang bersumber kepada agama yang dianutnya
menyebabkan generasi muda mengalami kebingungan dalam bergaul karena apa yang
dipelajarinya di sekolah bertentangan dengan apa yang dialaminya dalam
masyarakat, bahkan mungkin bertentangan dengan apa yang dilakukan oleh
orangtuanya sendiri di rumah.
Kontradiksi yang terdapat dalam kehidupan generasi muda itu
menghambat pembinaan moralnya karena pembinaan moral itu terjalin dalam
pembinaan pribadinya. Apabila faktor-faktor dan unsur-unsur yang membina itu
bertentangan antara satu sama lain, akan goncanglah jiwa yang dibina, terutama
mereka yang sedang mengalami pertumbuhan dan perubahan cepat, yaitu usia
remaja.
Kegoncangan jiwa, akibat kehilangan pegangan itu telah menimbulkan
berbagai ekses, misalnya kenakalan remaja, penyalahgunaan narkotika, dan
sebagainya. Dalam menghadapi remaja yang oleh orangtua atau gurunya dianggap
nakal (memang kelakuannya nakal, misalnya tak mau belajar, menentang orangtua,
mengganggu keamanan, merusak dan sebagainya) dan mereka yang telah menjadi
korban dari penyalah-gunaan narkotika, terasa sekali bahwa yang terjadi
sebenarnya adalah kegoncangan jiwa akibat tak adanya pegangan dalam hidupnya.
Nilai-nilai moral yang akan diambilnya sebagai pegangan terasa kabur, terutama
mereka yang hidup di kota besar dan berasal dari keluarga yang kurang
mengindahkan ajaran agama dan tak memerhatikan pendidikan agama bagi
anak-anaknya.
Seandainya keadaan itu dibiarkan berjalan dan berkembang,
pembangunan bangsa kita akan terganggu, bahkan mungkin akan gagal. Karena
tujuan pembangunan kita adalah mencapai kesejahteraan hidup yang seimbang
antara kemakmuran lahiriyah dan kebahagiaan batin, atau dengan kata lain, sifat
pembangunan negara kita adalah pembangunan yang seimbang antara jasmani dan
rohani, antara material dan spiritual, antara kehidupan dunia dan akhirat.
Secara nasional, bahayanya adalah menghambat tercapainya tujuan
pembangunan, sedangkan secara pribadi atau masing-masing anggota masyarakat,
mereka akan kehilangan kebahagiaan.[4]
Bisa
dibayangkan bagaimana perasaan orangtua ketika melihat anaknya malas belajar,
suka melawan, menentang, dan nakal atau terganggu jiwa. Tentu saja, mereka akan
merasa sedih.
Disamping itu, remaja pun merasa hari depannya suram, yang biasa
mereka sebut dengan masa depan suram, karena mereka tahu bahwa apa yang terjadi
pada diri mereka adalah yang merugikan, tetapi mereka tak mampu mancari jalan
keluarnya, lalu mereka mengatasi perasaan yang tak menyenangkan itu dengan
mencari obat penenang, yaitu narkotika atau kelakuan nakal.
Ringkasnya, bahaya akan terjadi dan meluas apabila kehidupan moral
dan agama dalam masyarakat yang negatif itu dibiarkan menjalar dan memengaruhi
generasi muda. Untuk itu, perlu ada tindakan antisipasif terhadap masalah yang
cukup membahayakan itu, antara lain adalah :
a.
Perlu
mengadakan saringan atau seleksi terhadap kebudayaan asing yang masuk agar
unsur-unsur yang negetif dapat dihindarkan.
b.
Agar pendidikan
agama, baik dalam keluarga, sekolah maupun masyarakat, diintensifkan supaya
kehidupan kehidupan beragama dapat terjamin dan selanjutnya nilai-nilai moral
yang baik dapat menjadi bagian dari pribadi bangsa, generasi muda pada
khususnya. Nilai-nilai moral yang pasti terdapat dalam ajaran agama itu akan
membantu setiap pribadi untuk mendapat ketenangan jiwa, sehingga kegairahan
untuk membangun itu ada.
c.
Agar diadakan
pendidikan khusus untuk orang dewasa dalam bidang kesehatan jiwa supaya mereka
dapat membantu dirinya sendiri dalam menghadapi kegoncangan jiwa, atau
menghindari terjadinya kegoncangan jiwa dan terciptanya ketenangan serta
kebahagiaan dalam hidup sehari-hari di rumah dan masyarakat.[5]
d.
Perlu adanya biro-biro
konsultasi, untuk membantu orang-orang yang memerlukannya, baik untuk anak dan
remaja maupun untuk orang dewasa.
e.
Dalam kegiatan
pembinaan itu sebaiknya pemerintah dengan wewenang yang ada padanya meengambil
tindakan dan langkah-langkah tegas dengan mengikutsetakan semua lembaga, para
ulama dan pemimpin masyarakat.
Pendidikan
agama di kalangan generasi muda atau remaja, baik dalam keluarga, sekolah
maupun masyarakat, perlu mendapatkan perhatian yang serius dan menjadi skala
prioritas yang harus direalisasikan secara serentak oleh semua pihak, baik
pendidikan formal maupun nonformal.[6]
2.
Basis Penanaman
Pendidikan Agama Bagi Remaja
a.
Lingkungan
Keluarga
Dapat dipahami bahwa keluarga
merupakan lingkungan pertama anak yang mempunyai pengaruh vital terhadap
pertumbuhan dan perkembangan generasi muda. Dalam beberapa hal, situasi
keluarga di Indonesia dewasa ini belum mencerminkan suasana lingkungan yang
mendukung perkembangan dan pertumbuhan generasi muda menuju kearah bentuk
kedewasaan yang diharapkan oleh bangsa Indonesia.
Suasana lingkungan keluarga yang
kurang mendukung, pertumbuhan dan perkembangan generasi muda tersebut antara
lain terlihat dalam berbagai masalah yang dihadapi oleh orangtua dan juga oleh
anak-anak itu sendiri di dalam keluarganya.
Ada beberapa faktor yang menjadi
penghambat di lingkungan keluarga bagi pembinaan generasi muda, yaitu :[7]
1)
Keseimbangan
yang tidak cukup antara kemajuan teknologi dan perkembangan serta perubahan
social yang cepat dan luas dengan kesiapan keluarga sebagai lembaga pembina
utama untuk menghadapi hal-hal tersebut.
2)
Kewibawaan dan
perhatian orang tua yang minim terhadap anak
3)
Ekonomi
keluarga yang relatif lemah.
4)
Faktor-faktor
intern pada diri si anak, seperti rendahnya tingkat intelegensia anak.
Namun demikian,
masih ada rasa optimisme yang masih cukup kuat karena adanya faktor-faktor
pendukung yang dapat dimanfaatkan untuk kelancaran usaha-usaha pembinaan,
antara lain :
1)
Masih ada rasa
kekeluargaan yang erat.
2)
Usaha-usaha
kesejahteraan keluarga dan anak.
3)
Masih kuatnya rasa
keagamaan di kalangan keluarga dan masyarakat.
b.
Lingkungan
Sekolah
Sekolah atau lembaga pendidikan
formal lainnya merupakan lingkungan kedua yang mempunyai pengaruh besar
terhadap pembinaan pertumbuhan dan perkembangan anak-anak atau generasi muda
Indonesia. Akan tetapi, sekolah-sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan formal
tersebut sampai dewasa ini belum dapat sepenuhnya melaksanakan fungsi membina
generasi muda sebaaimana mestinya, hal ini dikarenakan adanya berbagai masalah
yang muncul, seperti :
1)
Keterbatasan
prasarana, sarana, dan tenaga bagi penyelenggara pendidikan, baik kuantitas
maupun kualitas.[8]
Di
samping itu, metodologi pendidikan dan pengajaran yang pada umumnya masih belum
cukup efektif menyebabkan tujuan pendidikan belum dapat dicapai sebagaimana
diharapkan.
2)
Kuantitas dan
kualitas pendidikan ketrampilan praktis yang kurang langsung dapat dirasakan
manfaatnya oleh keluarga dan anak-anak didik atau siswa-siswa yang
bersangkutan.
3)
Ada gejala
penurunan atau pengurangan wibawa pengajar terhadap anak didik di satu pihak,
dan gejala perubahan tingkah laku dan sikap anak didik yang menghendaki
hubungan sosial secara bebas.
4)
Kurang
pengertian dan perhatian masyarakat, orangtua, dan generasi muda tentang tujuan
dan sistem pendidikan yang berlangsung serta masih kurangnya pengertian
masyarakat, terutama pada sebagian masyarakat di pedesaan tentang pentingnya
pendidikan.
5)
Belum cukup
memadainya perhatian masyarakat dan keluarga terhadap pembinaan dan
perkembangan pendidikan luar biasa serta terhadap hak kebutuhan generasi muda
golongan tuna pada umumnya.
6)
Cukup banyak
jumlah anak berhenti sekolah, dan lain sebagainya.
Ada beberapa
fakor penghambat di lingkungan sekolah dalam kelancaran pembinaan generasi
muda, yaitu :
1)
Belum
diterapkannya pola sistem pendidikan.
2)
Kurang
memadainya usaha-usaha penyebaran pengertian dan motivasi tentang pentingnya
pendidikan.
3)
Kurang
diperhatikannya kesejahteraan pendidik dan kurang memadainya usaha-usaha
peningkatan kemampuan pendidikan.[9]
4)
Masih
terbatasnya anggaran belanja pemerintah bagi perkembangan dan peningkatan
pendidikan, di samping ekonomi masyarakat yang terbatas pula.
5)
Hubungan antara
pendidik dengan wali murid yang belum cukup intensif dan efektif.[10]
Setiap guru
agama hendaknya menyadari, bahwa pendidikan agama bukanlah sekadar mengajarkan
pengetahuan agama dan melatih ketrampilan anak dalam melaksanakan ibadah. Akan
tetapi pendidikan agama jauh lebih luas daripada itu, ia pertama-tama bertujuan
untuk membentuk kepribadian anak, sesuai dengan ajaran agama. Pembinaan sikap,
mental, dan akhlak, jauh lebih penting daripada menghafal dalil-dalil dan
hukum-hukum agama, yang tidak diresapkan dan dihayatinya dalam hidup.
Pendidikan agama akan sukses, apabila ajaran agama hidup dan tercermin dalam
pribadi guru agama dan pendidikan agama akan lebih berkesan dan berguna apabila
seluruh lingkungan hidup, yang ikut mempengaruhi pembinaan pribadi anak
(keluarga, sekolah, dan masyarakat) sama-sama mengarah pada pembinaan jiwa
agama pada anak.
Guru agama
tidak hanya melakukan pendidikan, akan tetapi ia sekaligus melakukan pendidikan
ulang (re-education) terhadap yang telah terlanjur salah di masa lampau.
Disamping ia membina pribadi anak, ia juga melakukan pembinaan kembali (reconstruction
of personality) anak. Dapat dikatakan bahwa guru agama, disamping sebagai
guru, hendaknya dapat berfungsi sebagai konsultan jiwa bagi anak didik, yang
mendapatkan kesalahan pendidikan agama di waktu kecil, baik di rumah, sekolah,
maupun masyarakat yang akan membawa akibat yang sangat berbahaya terhadap hari
depan anak, bahkan akan berpengaruh sampai hari tuanya dan sampai kepada
kehidupan akhirat nanti.[11]
Pendidikan
agama yang baik, tidak saja memberi manfaat bagi yang bersangkutan, akan tetapi
membawa keuntungan dan manfaat terhadap masyarakat dan umat manusia seluruhnya.[12]
Perkembangan
kognitif pada remaja menunjukan bahwa mereka memiliki daya pikir kritis yang
tinggi dengan dilandasi pemahaman dan pengetahuan berbagai ilmu pengetahuan,
maka untuk mengatasi pertanyaan- pertanyaan kritis remaja yang muncul juga
perlu dilandasi argument rasional yang tepat. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul
seringkali disebabkan karena keterbatasan pemahaman dan pengetahuan agama.
Selain mendalami ajaran agama, keraguan dan konflik agama akan dapat diatasi
jika mereka mendapat berbagai pengalaman beragama yang memberikan bukti tentang
kebenaran ajaran agama.[13]
c.
Lingkungan
Masyarakat
Perkembangan masyarakat dewasa ini
dengan berbagai perubahan dan kemajuan, serta keterbatasan fasilitas dan
kegiatan-kegiatannya di satu pihak, dan meluapnya aspirasi di pihak lain telah
menjadikan lingkungan ketiga yang memberikan pengaruh kuat bagi pertumbuhan dan
perkembangan generasi muda, baik pengaruh positif maupun negatif.
Bagaimanapun keadaan suatu
masyarakat, ia mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk memberikan
pembinaan kepada generasi muda agar kedewasaan yang diharapkan dapat tercapai.
Perkembangan dan perubahan masyarakat yang berlangsung akhir-akhir ini di beberapa
tempat, terutama di kota-kota besar, mengharuskan masyarakat tersebut untuk
menghayati berbagai permasalahan yang ditimbulkan dan sekaligus memecahkannya.
Di antara masalah yang dianggap mendesak adalah kurangnya usaha strategis
integral dari generasi dewasa untuk menanggapi dan memahami perubahan-perubahan
nilai kehidupan dan penghidupan pada generasi muda akibat pengaruh
kemajuan-kemajuan ekonomi dan teknologi serta perkembangan dan perubahan social
cultural yang cepat.
Permasalahan generasi muda yang
kompleks itu tidak mungkin hanya dibebankan tanggung jawabnya kepada salah satu
komponen masyarakat semata, meskipun tak dipungkiri ada pihak yang paling
dominan untuk memotorinya, yakni pihak pemerintah, karena merekalah yang dapat
membuat kebijakan-kebijakan hukum yang bisa dijadikan pijakan untuk
merealisasikan langkah-langkah konkret guna mengatasi problematika generasi
muda, terutama masalah pendidikan keagamaan mereka.[14]
3.
Pembinaan
Pribadi Remaja
Perlu diingat bahwa pembinaan pribadi yang dilalui oleh remaja terbina
telah banyak membawa hasil dalam berbagai bentuk sikap dan modal kelakuan,
sesuai dengan pengalaman mereka masing-masing, sejak lahir sampai remaja. Dapat
dibayangkan betapa variatifnya sikap dan kelakuan itu, karena masing-masing
telah terbina dalam berbgai kondisi dan situasi keluarga, sekolah, dan
lingkungan yang berlainan satu sama lain.
Namun demikian, masih ada beberapa patokan umum yang dapat diuraikan dalam
pembinaan itu, yaitu tingkat umur dengan segala ciri dan problematiknya. Remaja
pada masa terakhir, umpamanya, dapat dikatakan bahwa mereka sedang berada pada
masa pembinaan terakhir, yaitu masa remaja terakhir (late adolescence) atau Al Murahaqah Al Akhirah dan dewasa
muda. hal ini dapat diidentifikasi dari ciri-ciri yang biasa terjadi pada masa
remaja terakhir ini, meskipun sesungguhnya, masa remaja itu tak dapat
dipastikan kapan mulai dan berakhirnya, sebab hal tersebut bergantung pada
berbagai faktor yang bersifat individual, seperti faktor cepat atau lambatnya
pertumbuhan kondisi tertentu yang dialami remaja, di antaranya faktor sosial
dan ekonomi.[15]
Di antara remaja ada yang mengalami faktor sosial yang cepat memberi
kepercayaan dan penghargaan kepadanya, sehingga mereka segera dapat diterima
sebagai anggota masyarakat yang didengar pendapatnya. Hal ini biasanya terjadi
di masyarakat desa atau masyarakat yang masih terbelakang. Akan tetapi, ada
pula lingkungan yang enggan memberi kepercayaan pada remajanya, sehingga mereka
dipandang sebagai anak yang harus ditolong, dinasihati, dibimbing, dan dicukupi
segala kebutuhannya. Di samping itu, ada pula faktor ekonomi yang biasa terjadi
di masyarakat miskin atau kurang mampu, dimana anak mudanya segera diberi
tanggung jawab dan ikut mencari nafkah. Adapun dalam masyarakat maju dan mampu,
biasanya anak-anak itu tak dibebani tugas mencari nafkah sampai usia mereka
matang.
Banyak lagi faktor lain yang ikut menentukan masa remaja itu, tetapi secara
umum dapat dikatakan bahwa masa remaja kira-kira dimulai pada umur 13 tahun,
yang ditandai dengan masuknya anak pada masa puber, yaitu pertumbuhan seks yang
membedakan anak dan remaja. Perubahan ini tampak pada perubahan jasmani dari
luar dan perubahan kelenjar-kelenjar yang mengalir dalam tubuhnya. Adapun akhir
masa remaja agak sukar ditentukan, karena berbagai faktor ikut mempengaruhi,
sebagaimana telah dikemukakan di atas. Namun pada akhirnya, ahli jiwa cenderung
untuk mengatakan bahwa pada masyarakat maju, masa remaja berakhir pada usia 21
tahun ketika segala macam pertumbuhan atau perubahan cepat dapat dikatakan
berakhir.
Berdasarkan ciri-ciri perkembangan jiwa remaja, proses pembinaan pribadi
remaja harus disesuaikan dengan kondisi usia mereka, yakni berkisar (18-24
tahun).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemuda-pemudi dalam umur tersebut
dapat digolongkan remaja dan dewasa muda. Mereka bukan lagi anak-anak, yang
dapat dinasehati, dididik, dan diajari dengan mudah, dan bukan pula orang
dewasa yang dapat dilepaskan untuk bertanggung jawab atas pembinaan pribadinya.[16]
Mereka adalah orang-orang
yang sedang berjuang untuk mencapai kedudukan sosial yang meraka inginkan dan
bertarung dengan berbagai problematika hidup untuk memastikan diri, serta
mencari peganggan untuk menentramkan batin dalam perjuangan hidup yang tak
ringan.
Tidaklah mudah memilih cara atau metode yang tepat dan baik bagi mereka,
namun sekedar peganggan, berikut ini akan dikemukakan beberapa segi yang perlu
mendapat perhatian :
a. Menentukan bahwa pembina memahami mereka.
Seorang pembina harus memahami binaannya. Secara umum, telah kita sebutkan
ciri, sifat, dan problem remaja, namun secara perseorangan, kita pun perlu
berusaha mengetahui apa yang sedang mereka rasakan. mungkin saja, mereka telah
melakukan sesuatu yang menurut ajaran agama terlarang atau tercela, lalu mereka
bertahan (membela diri secara diam-diam atau terang-terangan). tidaklah
bijaksana kalau kita mengabaikan perasaan dan pertarungan jiwa yang mereka
alami itu, lalu misalnya kita mencela mereka serta menunjukan hukum dan
ketentuan-ketentuan agama tanpa penganalisisan, mengapa hukum agama itu
demikian. sebaiknya, kita tunjukan bahwa apa yang mereka alami, rasakan, atau
derita kita pahami. Kemudian, kita mengemukakan ajaran agama mengenal hal itu
dengan mencarikan hikmah dan manfaat dari ketentuan agama, yang mungkin terasa
berat bagi remaja tersebut.
Setiap orang, terutama remaja akan merasa senang apabila orang lain dapat
memahami dan mengenal perasaannya. Dengan demikian, mereka akan merasa simpati
kepada orang yang mau mengerti perasaan dan penderitaannya. Apabila rasa
simpati itu telah tercipta, biasanya mereka akan dengan mudah menerima saran
atau nasihat.[17]
b. Membina secara konsultasi.
Hendaknya setiap pembina agama menyadari bahwa yang akan dibina itu adalah
jiwa yang tak terlihat, tak dapat dipegang atau diketahui secara langsung. Oleh
karena itu, hendaklah bersikap terbuka untuk menampung atau mendengar ungkapan
perasaan yang dialami mereka. Terkadang, pembina perlu menyediakan waktu untuk
mendengar keluh kesah mereka secara kelompok dan secara perseorangan. Dalam itu
berarti pembina telah memberi kesempatan kepada remaja untuk menumpahkan segala
yang menegangkan perasaannya (release of
tension). Dengan tercurahnya segala yang menegangkan perasaan itu, hati
mereka akan terbuka untuk menerima saran atau alternatif-alternatif
penyelesaian bagi segala problema yang mereka hadapi, tentunya alternatif itu
diambilkan dari ajaran dan ketentuan agama yang pasti telah terjamin baiknya.
Dalam menghadapi mereka yang menderita gangguan jiwa dengan segala macam gejalanya,
tentu sangat terasa besarnya pengaruh cara tersebut dalam pembinaan remaja. Tak
jarang terlihat adanya perubahan besar yang terjadi pada remaja hanya dengan
sekali atau dua kali pertemuan konsultasi saja. Sikap benci dan antipati kepada
orangtua, guru, pemimpin dan bahkan terhadap agama, dapat berubah dengan cepat
sekali, setelah batinnya lega setelah curhat dihadapan orang yang mau mendengar
dan mahaminya.
Setiap perugas yang
menjalankan pembinaan kehidupan beragama, tidak lain adalah pembina jiwa atau
konsultan jiwa.[18]
c. Mendekatkam agama kepada kehidupan.
Hukum dan ketentuan agama itu perlu diketahui oleh para remaja binaan.
Jangan sampai pemahaman dan pengetahuan mereka tentang agama hanya pengetahuan
yang tak berpengaruh apa-apa dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Untuk itu, diperlukan
usaha untuk mendekatkan agama dengan jalan mencarikan hikmah dan manfaat setiap
ketentuan agama itu. jangan sampai mereka menyangka bahwa hukum dan ketentuan
agama merupakan perintah Tuhan yang terpaksa mereka patuhi, tanpa merasakan
manfaat dari kepatuhannya itu. Hal itu tidak dapat dicapai dengan penjelasan
sederhana, melainkan memerlukan pendekatan-pendekatan secara sungguh-sungguh
yang didasarkan atas pengertian dari usaha yang sungguh-sungguh pula.[19]
BAB
III
PENUTUP
Simpulan
Demikian
penting pendidikan agama dan demikian berat tugas guru agama, maka seharusnya
guru agama membekali dirinya dengan berbagai pengetahuan, ketrampilan dan ilmu
alat atau ilmu yang dapat membantunya dalam pelaksanaan tugas berat yang mulia
itu. Di antara ilmu alat tersebut ialah Ilmu Jiwa Agama, terutama bagian yang
menyangkut pertumbuhan jiwa agama pada anak dan remaja.
Penanaman
pendidikan agama bagi remaja terjadi pada beberapa basis, yaitu di lingkungan
keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat, dimana dari ketiga
basis tersebut memiliki peranannya masing-masing serta sangat mempengaruhi
didalam pertumbuhan dan perkembangan jiwa keagamaan setiap remajanya.
Ada beberapa
cara didalam membina pribadi remaja agar menjadi pribadi yang memiliki jiwa
keagamaan yang baik, yaitu dengan cara menunjukan kepada remaja bahwa pembina
memahami keadaan mereka, kemudian membina secara konsultasi dan mendekatkan
agama kepa kehidupan remaja yang dibina.
Fotnote:
[1] Bambang Samsul
Arifin, Psikologi Agama (Bandung : Pustaka Setia, 2008), hlm.85-86
[2] Ibid.,
hlm.86
[3] Noer Rohmah, Pengantar
Psikologi Agama (Teras : Yogyakarta, 2013), hlm.125
[4] Bambang Samsul
Arifin, Op.Cit., hlm.86-87
[6] Ibid., hlm.88-89
[7] Ibid., hlm.89
[9] Ibid., hlm.91-92
[10] Ibid., hlm.92
[11] Zakiah
Daradjat, Ilmu Jiwa Agama (PT Bulan Bintang : Jakarta, 2003),
hlm.124-125
[12] Ibid., hlm.125
[13] M.A. Subandi, Psikologi
Agama dan Keshatan Mental (Pustaka Pelajar : Yogyakarta, 2013), hlm.54
[14] Bambang Samsul
Arifin, Op.Cit., hlm.100
[15] Ibid.,
hlm.101-102
[16] Ibid.,
hlm.102-103
[17] Ibid.,
hlm.103-104
[18] Ibid.,
hlm. 104
[19] Ibid.,
hlm.105
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Bambang Samsul. 2008. Psikologi Agama. Bandung :
Pustaka Setia.
Daradjat, Zakiah. 2003. Ilmu Jiwa Agama. PT Bulan Bintang :
Jakarta.
Rohmah, Noer. 2013. Pengantar Psikologi Agama. Teras : Yogyakarta.
Subandi, M.A..
2013. Psikologi Agama dan Keshatan Mental. Pustaka Pelajar : Yogyakarta.
0 komentar
Posting Komentar