BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ilmu
merupakan sesuatu yang amat penting bagi manusia. Dimana dengan ilmu manusia
dapat melakukan sesuatu hal atau kegiatan dengan maksimal dan sukses, baik hal
yang bersifat duniawi maupun ukhrowi .
Berbicara
mengenai ilmu maka tak lepas dari seorang ‘alim
(orang yang berilmu) dimana kedudukan orang berilmu dalam kehidupan sangat
dibutuhkan, baik dalam siklus keilmuan yang mana dirinya dapat membagikan
ilmunya kepada orang lain ataupun ilmu itu dipakainya untuk kehidupan
pribadinya. Mengingat pentingnya orang berilmu bagi kehidupan, maka perlu bagi
kita memahami kedudukan atau nilai orang berilmu. Allah SWT berfirman:
يَٰٓأَيُّهَاٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ إِذَا قِيلَ لَكُمۡ تَفَسَّحُواْ فِي ٱلۡمَجَٰلِسِ فَٱفۡسَحُواْ
يَفۡسَحِ ٱللَّهُ لَكُمۡۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُواْ فَٱنشُزُواْ يَرۡفَعِ ٱللَّهُٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ وَٱللَّهُ بِمَا
تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ ١١
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah
dalam majlis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akanmemberi kelapangan
untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.” (Al-Mujadalah: 11)[1]
Ayat
diatas merupakan ayat yang menjadi dasar pembahasan mengenai
derajat/nilai/kedudukan orang yang berilmu dan beriman, baik di dunia maupun di
akhirat. Sehingga sebagai seorang muslim yang mempunyai kitab yang absolut
kebenarannya yaitu Al-Qur’an, maka sebelum memahami sejauh mana kedudukan orang
berilmu, penting bagi kita untuk memahami terlebih dahulu mengenai tafsir dari
ayat diatas, yaitu ayat yang menjadi dasar pembahasan “nilai orang berilmu".
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
NilaiOrang Berilmu
Al-‘alim
(orang yang tahu) adalah orang yang telah berhasil mencerap hakikat sesuatu
itu.Dalam pandangan Al-Qur’an, ilmu tersebut dapat membentuk sikap atau
sifat-sifat dasar manusia. Atau dengan kata lain, sikap atau karakter seseorang
merupakan gambaran pengetahuan yang dimilikinya. Maka perbedaan sikap dan pola
piker antara seseorang dengan lainnya dilatarbelakangi oleh perbedaan
pengetahuan mereka.Bahkan ilmu pengetahuan tidak hanya membentuk pola piker,
sifat dan karakter seeorang, tetapi juga dapat membentuk perilaku.
Al
Qur’an menafikkan persamaan antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak
berilmu.Penafikkan itu tentu saja tidak hanya mengenai persamaan sifat tetapi
juga persamaan perilaku.Maka itulah sebabnya kitab suci tersebut memerintahkan
umat ini agar banyak belajar, meneliti, dan mengamati fenomena alam guna
mendapatkan ilmu pengetahuan.Selanjutnya pengetahuan itu dapat membentuk
kesadaran dan sikap, kemudian dapat pula melahirkan perilaku berdasarkan
kesadaran atau sikap yang telah terbentuk itu.[2]
B. Tafsir Q.S.
AL-Mujadalah Ayat 11
1. Asbabun
Nuzul
Menurut
suatu riwayat yang dibawakan oleh Muqatil bin Hubban, ayat ini turun pada hari
Jum’at. Ketika itu Rasulullah SAW duduk di ruang Shuffah, (yaitu ruang tempat
berkumpul dan tempat tinggal sekali dari sahabat-sahabat Rasulullah SAW yang
tidak mempunyai rumah tangga).Tempat itu agak sempit dan sahabat-sahabat dan
Muhajirin dan Anshar telah berkumpul. Beberapa orang sahabat yang turut dalam
peperangan Badar telah ada hadir dan kemudian datang pula yang lain. Mana yang
datang mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW dan kepada orang-orang yang
hadir lebih dahulu. Salam mereka dijawab orang yang telah hadir, tetapi mereka
tidak bergeser dari tempat duduk mereka, sehingga orang-orang yang baru datang
itu terpaksa berdiri terus.Melihat hal itu Rasulullah merasakan kurang senang,
terutama karena di antara yang baru datang itu adalah sahabat-sahabat yang
mendapat penghargaan istimewa dari Allah, karena mereka turut dalam peperangan
Badar.
Akhirnya
bersabdalah Rasulullah SAW kepada sahabat-sahabat yang bukan ahli-ahli Badar,
“Hai Fulan! Berdirilah engkau! Hai Fulan, engkau berdiri pulalah!” Lalu beliau
suruh duduk ahli-ahli Badar yang masih berdiri itu.Tetapi yang disuruh berdiri
itu ada yang wajahnya terbayang rasa kurang senang atas hal demikian dan orang
munafik yang turut hadir mulailah membisikkan celaannya atas yang demikian
seraya berkata; “Itu perbuatan yang tidak adil, demi Allah!”Padahal ada orang
dari semula telah duduk karena ingin mendekat dan mendengar, tiba-tiba dia
disuruh berdiri dan tempatnya disuruh duduki kepada yang baru datang.Melihat
yang demikian bersabdalah Rasulullah SAW “Dirahmati
Allah seseorang yang melapangkan tempat buat saudaranya.”[3]
Inilah sebab turun ayat
menurut riwayat Muqatil bin Hubban itu.
2. Tafsir
Al Mujadalah ayat 11 dari beberapa tafsir;
a.
Tafsir Ibnu
Katsir
Allah
Ta’ala berfirman guna mendidik hamba-hambaNya yang beriman dan memerintahkan
kepada mereka agar satu sama lain saling bersikap baik di majelis, “Hai
orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, ‘Berlapang-lapanglah
dalam majelis, ‘maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu.” Karena siapa yang menanam maka dia akan memanen. Hal ini sebagaimana
diterangkan di dalam hadis sahih,
“Barangsiapa yang membangun sebuah
masjid untuk Allah maka Allah akan membangun untuknya sebuah rumah di dalam
surga.”
Banyak
sekali pemberian pahala dengan yang seperti ini. Itulah sebabnya Allah
berfirman , “Maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.”
Qatadah mengatakan, “Ayat ini turun berkenaan dengan majelis majelis dzikir.
Yaitu, bahwa apabila mereka melihat salah seorang datang menuju tempat mereka,
mereka mempersempit tempat duduk di samping Rasulullah saw., kemudian Allah
memerintahkan kepada mereka untuk melapangkan tempat duduk satu sama lain.”
Telah
diriwayatkan pula oleh Ibnu Abbas dan yang lain bahwa mereka menafsirkan firman
Allah SWT, “ Apabila dikatakan kepadamu, ‘Berlapang-lapanglah dalam majelis,’
maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu” dengan
majelis-majelis di peperangan. Dan mereka mengatakan lagi arti dari firman
Allah Ta’ala, “Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu, maka berdirilah,’
“yaitu bangkitlah dari berperang.”.[4]
Selanjutnya
Allah Ta’ala berfirman, “niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yangberiman
diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan
Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. “Yaitu, janganlah kamu mengira
bila kamu memberikan kelapangan kepada saudaramu yang datang atau bila dia
diperintahkan untuk keluar, lalu dia keluar, akan mengurangi haknya.Bahkan itu
merupakan ketinggian dan perolehan martabat disisi Allah. Sedangkan Allah tidak
akan menyia-nyiakan hal itu, bahkan Dia akan memberikan balasan kepadanya di
dunia dan di akhirat. Karena orang yang merendahkan diri karena Allah, maka
Allah akan mengangkat derajatnya dan akan mempopulerkan namanya.”Dan Allah maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.”Yaitu, maha mengetahui orang yang yang berhak
untuk mendapatkan hal itu dan orang yang tidak berhak untuk mendapatkannya.[5]
b.
Tafsir Al-Maragi
Pengertian
umum dari ayat diatas adalah sesudah Allah melarang para hamba dari
berbisik-bisik mengenai dosa dan pelanggaran yang menyebabkan permusuhan, Allah
memerintahkan kepada mereka sebab kecintaan dan kerukunan di antara orang-orang
mukmin.Dan di antara sebab kecintaan dan kerukunan itu adalah melapangkan
tempat di majlis (pertemuan) ketika ada orang yang datang, dan bubar apabila
diminta dari kalian untuk bubar.
Apabila
kalian melakukan yang demikian itu, maka Allah akan meninggikan tempat-tempat
kalian di dalam surga-surgaNya dan menjadikan kalian termasuk orang-orang yang
berbakti tanpa kekhawatiran dan kesedihan.
Penjelasan
dari,
ٰٓأَيُّهَاٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ إِذَا قِيلَ لَكُمۡ تَفَسَّحُواْ فِي ٱلۡمَجَٰلِسِ فَٱفۡسَحُواْ
يَفۡسَحِ ٱللَّهُ لَكُمۡۖ
Ringkasnya,
bagian ayat inii mencakup pemberian kelapangan dalam menyampaikan segala macam
kepada kaum muslimin dan dalam menyenangkan. Oleh karena itu, maka Rasulullah
saw, mengatakan:
“Allah akan selalu menolong
hambaNya selama hamba itu menolong saudaranya.”
وَإِذَا
قِيلَ ٱنشُزُواْ فَٱنشُزُواْ
Apabila
kamu diminta untuk berdiri dari majlis Rasulullah saw, maka berdirilah kamu,
sebab Rasulullah saw, itu terkadang ingin sendirian guna merencanakan
urusan-urusan agama, atau menunaikan beberapa tugas khusus yang tidak dapat
ditunaikan atau disempurnakan penunaiannya kecuali dalam keadaan sendiri.
Mereka
telah menjadikan hukum ini umum sehingga mereka mengatakan, apabila pemilik
majlis mengatakan kepada siapa yang ada di majlisnya, “Berdirilah kamu,” maka
sebaiknya kata-kata itu diikuti.
Tidak
selayaknya orang yang baru datang menyuruh berdiri kepada seseorang, lalu dia
duduk di tempat duduknya, sebab telah dikeluarkan oleh Al-Bukhari, Muslim dan
At-Tirmidzi dari Ibnu Umar bahwa Rasululah saw. Mengatakan:
“Janganlah seseorang menyuruh
berdiri kepada orang lain dari tempat duduknya. Akan tetapi lapangkanlah dan
longgarkanlah.”
يَرۡفَعِ
ٱللَّهُٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰت
Allah
meninggikan orang-orang mukmin dengan mengikuti perintah-perintahNya dan
perintah-perintah Rasul, khususnya orang-orang yang berilmu di antara mereka
derajat-derajat yang banyak dalam hal pahala dan tingkat-tingkat keridaan.
Ringkasnya,
sesungguhnya wahai orang mukmin, apabila salah seorang di antara kamu
memberikan kelapangan bagi saudaranya ketika saudaranya itu datang, atau jika
ia disuruh keluar lalu ia keluar, maka hendaklah ia tidak menyangka sama sekali
bahwa hal itu mengurangi haknya. Bahwa yang demikian merupakan peningkatan dan
penambahab bagi kedekatannya di sisi Tuhannya. Allah Ta’ala tidak akan
menyia-nyiakan yang demikian itu, tetapi Dia akan membalasnya di dunia dan di
akhirat. Sebab, barang siapa yang tawadu’
kepada perintah Allah, maka Allah akan mengangkat derajat dan menyiarkan namanya.
وَٱللَّهُ
بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِير
Allah
mengetahui segala perbuatanmu. Tidak ada yang samar bagiNya, siapa yang taat
dan siapa yang durhaka di antara kamu. Dia akan membalas kamu semua dengan amal
perbuatan. Orang yang berbuat baik dibalas dengan kebaikan, dan orang yang
berbuat buruk akan dibalasNya dengan apa yang pantas baginya, atau diampuniNya.[6]
c.
Tafsir Al-Azhar
“Wahai orang-orang yang
beriman!Apabila dikatakan kepada kamu berlapang-lapanglah pada majlis-majlis,
maka berlapangkanlah.”(pangkal ayat 11).
Artinya
bahwa majlis, yaitu duduk bersama. Asal mulanya duduk bersama mengelilingi Nabi
karena hendak mendengan ajaran-ajaran dan hikmat yang akan beliau keluarkan.
Tentu ada yang datang terlebih dahulu, sehingga tempat duduk bersama itu
kelihatan telah sempit.Karena di waktu itu orang duduk bersama di atas tana,
belum memakai kerusi sebagai sekarang.Niscaya karena sempitnya itu, orang yang
kemudian tidak legi mendapat tempat, lalu dianjurkan oleh Rasul agar yang duduk
terlebih dahulu melapangkan tempat bagi yang datang kemudian. Sebab pada
hakikatnya tempat itu belumlah sesempit apa yang kita sangka .Masih ada tempat
lowong, masih ada tempat untuk yang datang kemudian.Karena yang sempit bukanlah
tempat, melainkan hati.
Lanjutan
arti ayat diatas, “ Niscaya Allah akan
melapangkan bagi kamu.”. Artinya, karena hati telah dilapangkan terlebih
dahulu menerima teman, hati kedua belah pihak akan sama-sama terbuka. Hati yang
terbuka akan memudahkansegala urusan selanjutnya.
“Dan jika dikatakan kepada kamu:
“Berdirilah!”, maka berdirilah!”. Maksud dari bagian
ayat ini menurut Ar- Razi ada dua; (1) Jika disuruh orang kamu berdiri untuk
memberikan tempat kepada yang lebih patut untuk duduk di tempat yang kamu
duduki itu, segeralah berdiri. (2) Yaitu jika disuruh berdiri karena kamu sudah
lama duduk, supaya orang lain yang belum mendapat kesempatan diberi peluang
pula, maka segeralah kamu berdiri. Kalau sudah ada saran menyuruh berdiri,
janganlah “berat ekor” seakan-akan terpaku pinggulmu di tempat itu, dengan
tidak hendak memberi kesempatan kepada orang lain.[7]
“Allah akan mengangkat orang-orang
yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”Sambungan
ayat ini mengandung dua tafsir. Pertama, jika seseorang disuruh melapangkan
majlis, yang berarti melapangkan hati, bahkan jika dia disuruh berdiri
sekalipun lalu memberikan tempatnya kepada orang yang patut di dudukkan,
janganlah ia berkecil hati. Melainkan hendaklah ia berlapang dada. Karena orang
yang berlapang dada itulah yang kelak akan diangkat Allah imannya dan ilmunya,
sehingga derajatnya bertambah naik.Kedua, memang ada orang yang yang diangkat
derajatnya oleh Allah daripada orang kebanyakan, pertama karena imannya dan
kedua karena ilmunya.
“Dan Allah, dengan apapun yang kamu
kerjakan, adalah maha mengetahui.” (ujung ayat 11)
Akhir
ayat 11 ini mengandung pokok hidup utama adalah iman dan pokok pengiringnya
adalah ilmu.Iman tidak disertai ilmu dapat membawanya terperosok mengerjakan
pekerjaan yang disangka menyembah Allah, padahal mendurhakai Allah.Sebaliknya
orang yang yang berilmu saja tidak disertai iman maka ilmunya itu dapat
membahayakan bagi dirinya sendiri maupun bagi sesama manusia.[8]
C.
Aplikasi
dalam Kehidupan
Berdasarkan
dari penjelasan-penjelasan dari beberapa tafsir di atas maka dapat diambil
pelajaran untuk dapat diterapkan di dalam kehidupan, yakni hendaknya ketika
kita ada di dalam majlis di sunahkan untuk memperbaiku tempat duduk dan
mempersilahkan orang yang baru hadir dengan memberikan tempat yang kiranya
cukup untuk orang itu duduk.
Tafsir
ayat ini juga mengajarkan kita untuk beriman, ikhlas dan berlapang dada serta
patuh terhadap aturan Allah, serta giat dalam belajar dan mengamalkan ilmu
karena Allah akan meninggikan beberapa derajat untuk orang yang berilmu baik di
dunia maupun di akhirat.
D.
Aspek
Tarbawi
Dari
penjelasan-penjelasan di atas maka dapat diambil hikmah pendidikan yang ada di
dalamnya, antara lain:
1. Dalam
hidup hendaknya seseorang mempunyai perencanaan yang matang dalam menghadapi
segala urusan, agar urusan-urusan itu cepat terselesaikan dan mencegah
urusan-urusan itu menumpuk dan terlalaikan, ibarat orang banyak yang ingin
duduk pada suatu tempat tapi tempat tersebut kecil, sehingga adakalanya ada
yang berdiri.
2. Hendaklah
setiap manusia memiliki jiwa rendah hati dan berlapang dada dimanapun ia berada
terhadap orang-orang di sekitar kita, baik di majlis maupun di selainnya.
3. Patuhlah
kepada orang-orang yang memimpinmu yaitu orang yang mengetahui aturan Allah dan
ikutilah perkataan orang yang mempunyai hak dari tempat yang kamu singgahi,
apabila dikatakan berdiri, maka berdirilah, diperintahkan duduk maka duduklah dan sebagainya, selagi itu adalah baik.
4. Orang
yang beriman dan berilmu akan ditinggikan beberapa derajat Allah dari yang
lain, oleh karena itu berllomba-lombalah dan berseangatlah dalam belajar dan
mengamalkan ilmu yang tentunya disertai dengan iman.
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Kesimpulan isi atau kandungan tafsir
ayat 11 surat Al-Mujadalah antara lain sebagai berikut:
1. Suruhan untuk memberikan kelapangan
kepada orang lain dalam majelis ilmu, majelis zikir, dan segala majelis yang
sifatnya menaati Allah SWT dan rasul-nya.
2. Apabila disuruh bangun untuk
melakukan hal-hal yang baik dan diridai Allah, maka penuhilah suruhan tersebut
dengan segera dan dengan cara yang sebaik-baiknya.
3. Allah SWT mengangkat orang-orang
beriman atas orang-orang yang tidak beriman beberapa derajat tingginya, dan
Allah SWT mengangkat orang-orang beriman dan berilmu pengetahuan atas
orang-orang yang beriman tetapi tidak berilmu pengetahuan beberapa derajat
tingginya. Ringkasnya Allah SWT meninggikan derajar orang-orang beriman,
teristimewa orang-orang beriman lagi berilmu.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
M. Yusuf, Kadar. 2013. Tafsir Tarbawi. Jakarta; Sinar Grafika Offset.
2. Hamka. 1985.
Tafsir Al-Azhar Juzu’ XXVII. Jakarta
: Pustaka Panji Mas.
3. Mustafa Al
Maragi, Ahmad. Terj.Bahrun Abu Bakar dkk. 1993. Tafsir Al-Maragi.Semarang: PT Karya Toha.
4. Nasib Ar
Rifa’i, Muhammad. Terj. Syihabuddin. 2001. Taisiru
Al Aliyyul Qadir Li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani.
Footnote:
[1]
http://bantul.kemenag.go.id/kemenag/2012-12-26-04-20-22/website/al-quran-online.html
, Al-Qur’an Kemenag Online, Q.S
Al-Mujadalah ayat 11
[2] Kadar M. Yusuf, Tafsir Tarbawi, (Jakarta; Sinar Grafika
Offset, 2013), hlm. 18
[3]Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ XXVII, (Jakarta : Pustaka Panji Mas, 1985)
hlm. 28
[4]Muhammad Nasib Ar Rifa’i, Taisiru Al Aliyyul Qadir Li Ikhtishari
Tafsir Ibnu Katsir , Terj. Syihabuddin, (Jakarta: Gema Insani, 2001, cet.
1) hlm. 628-630
[6]Ahmad Mustafa Al Maragi, Tafsir Al-Maragi, Terj.Bahrun Abu Bakar
dkk., (Semarang: PT Karya Toha, 1993) hlm. 22-25
[7]Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu XXVIII, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1985)
hlm. 26-28
0 komentar
Posting Komentar